Sejarah adalah suatu kebetulan terjadi di masa yang telah lalu dan benar-benar terjadi, dan tercatat dalam buku-buku maupun tulisan-tulisan atau peristiwa masa lampau yang dibatasi ruang dan waktu dan berhubungan manusia. Mengenai kebenaran sejarah didukung bukti-bukti yang membenarkan peristiwa itu benar- benar terjadi. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, ilmu sejarah adalah suatu pengetahuan atau uraian mengenai peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau. Dari pengertian atau definisi di atas maka dapatilah dibedakan antara sejarah dan ilmu sejarah, sejarah ialah kejadian atau peristiwanya, sedangkan ilmu sejarah adalah ilmu yang mempelajari kejadian atau peristiwa tersebut.
Manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dari kejadian yang telah lampau adalah pengetahuan tentang peristiwa- peristiwa yang terjadi pada saat itu, dan dengan mempelajarinya maka dapat mengambil hikmah/pelajaran dari peristiwa tersebut, dan dari pengetahuan sejarah dapat meningkatkan kehati-hatian dalam mengambil keputusan pada masa saat ini dengan mempertimbangkan prinsip nilai yang terjadi di masa lalu, karena pada dasarnya peristiwa masa lalu linear dengan masa saat ini dan yang akan datang
Sebelum masuknya Islam ke dalam masyarakat Arab mereka disebut masyarakat jahiliyyah, karena mereka hidup dengan keterbelakangan budaya, krisis moral sosial maupun peradaban. Hal demikian yang membuat orang-orang men- justice bahwa masyarakat Arab pra Islam memang begitu jahiliyah, dengan kebiasan menyembah berhala, kemudian mengubur anak perempuannya hidup-hidup karena anggapan mereka bahwa anak perempuan adalah pembawa sial, dan hanya merugikan keluarganya saja, terlebih lagi perbudakan pada zaman itu sungguh tidak ber-pri-kemanusiaan, yang mana budak perempuan diperlakukan sebagai benda bergerak yang menyenangkan untuk di pakai dan terus dibuang, dan yang lelaki diperas keringatnya tanpa ada imbalan sedikitpun. Akan tetapi ada sebagian yang menjadi kebanggaan masyarakat Arab pada saat itu, yaitu syair-syair puisi memang diakui pada saat itu sampai syair manapuntak dapat mengalahkan syair-syair orang Arab pada masa itu.
Selain itu masyarakat Arab pra Islam hidup dalam perpecahan klan (keluarga Besar), karena yang menjadi kebanggaan mereka adalah tingginya egoisme kekuasaan (kabilah), tidak adanya altruistik antar sesama umat manusia, dan saling memamerkan hartanya kepada orang-orang disekelilingnya. Hal ini yang menyebabkan berperangnya klan-klan yang ada di masyarakat Arab, sehingga dimata negara-negara lainpun bangsa Arab adalah bangsa yang lemah dan mudah terpecah belah
*Fase Makkah
Muhammad lahir di Makkah pada masa keadaan masyarakat yang disintegrasi bangsa (bisa dikatakan buruk untuk masa kini). Muhammad lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun gajah, bertetapan dengan tanggal 20 April 571 M. Muhammad adalah putra tunggal dari pasangan Abdullah dan Aminah yang mana ketika lahir pun beliau sudah menjadi yatim piatu. Sejak kecil Muhammad memilki sifat yang terpuji sehingga kemudian ia di juluki “al-amin” atau orang yang dipercaya. Pada usia yang ke-25 Muhammad menikah dengan seorang janda kaya yang bernama Khadijah. Dalam masa pernikahannya ini Muhammad sering melakukan kontemplasi atau menyendiri di luar Makkah, tepatnya di sebuah Gua yang bernama Hira. Entah apa yang di pikirkannya yang pastinya saat itu Muhammad mengalami kejumudan tingkat tinggi.
Pada saat Muhammad mendekati usia 40 tahun, beliau makin sering gelisah, sehingga pelariannya dengan menyepi di gua Hira semakin sering kualitas maupun kuantitasnya. Suatu malam di bulan Ramadhan tepatnya 17 Ramadhan yang bertetapan pada tanggal 6 Agustus 610 M, datanglah Jibril yang mana datang untuk menyampaikan wahyu pertama (Q.S Al-Alaq: 1-5). Pasca menerima wahyu di gua Hira, Nabi Muhammad mendapatkan wahyu wahyu berikutnya yang memerintahkan kepada Muhammad untuk menyampaikan―dakwah Sirr”. Isi dakwah tersebut adalah ajakan untuk melakukan perubahan-perubahan yang revolusioner, yang mana merubah akhlak umat manusia, karena Islam mengajarkan tentang akhlak yang baik. Perubahan yang lainnya adalah nilai persamaan/equalistik yaitu kesetaraan antar umat manusia, tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan, antar ras, suku, bangsa, dan lain sebagainya. Dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh Islam berimplikasi pada penguatan nasionalisme atau keutuhan dalam berbangsa dan bernegara.
Pada fase Makkah ajaran yang disampaikan oleh Muhammad SAW, berkaitan pada nilai ketauhidan atau keimanan, kemudian perbaikan akhlak akhlak masyarakat Arab. Karena pada saat itu yang harus dibangun pertama pertama adalah pondasi aqidah dan akhlak yang dijadikan landasan fundamental
*Fase Madinah
Fase Madinah dimulai sejak hijrahnya Nabi Muhammad dari Makkah ke Yastrib (diganti dengan nama Madinnah). Hijrahnya Nabi Muhammad dan pengikutnya ke Yastrib karena penduduk dan kabilah Makkah pada saat itu mengusir Nabi beserta pendukungnya sehingga Nabi pun harus pergi dari kota kelahiranya. Tetapi setelah hijrahnya Nabi Muhammad meneruskan dakwahnya sehingga masyarakat di Yastrib pun tertarik dengan beliau dan ikut masuk Islam. Sampai kemudian umat Islam di Yastrib kian-hari bertambah dan berkembang sehingga pada akhirnya kota Yastrib diubah namanya menjadi Madinah.
Dengan bersatunya kaum Anshor (tuan rumah di madinah) dan Muhajirin (pendatang dari Makkah) umat Islam menjadi kuat dan semakin berkembang pesat tanpa adanya pertentangan dengan agama-agama lain yang ada pada saat itu di Madinah. Dengan konsep yang dibawa dalam ajaran Islam Persamaan dan Kesatuan, Madinah menjadi tempat pembinaan masyarakat Islam. Pembinaannya tidak hanya meliputi bidang aqidah, tetapi juga menyangkut masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya. Pada fase ini di Madinah ajaran Islam lebih ditekankan pada hukum kemasyarakatan dan Muammalah sehari-hari.
Dengan perkembangan Islam yang semakin pesat ini, kaum muslimin dianggap oleh bangsa Qurasy sebagai ancaman bagi kelompok lainnya karena pastinya kelompok lain akan ikut oleh pengikutnya Nabi Muhammad SAW, maka kemudian bangsa Quraisy mengajak perang kepada umat Islam pertama kali dan disebut perang Badar dan dimenangkan oleh Umat Islam dan selanjutnya perang-perang dalam menaklukan Makkah seperti Uhud, Ahzab, Khandaq. Pada prinsip peperangan yang terjadi bagi kaum muslimin peperangan ini adalah upaya defensif idealisme dalam rangka menegakkan kalimat Tauhid.
Nabi Muhammad SAW wafat dan dimakamkan di Madinah di usia yang ke-63. Pada tanggal 12 Rabiul Awal 11 H bertepatan pada tanggal 8 Juni 632 M.
]Bermula dari latar belakang munculnya pemikiran dan berdirinya HMI serta kondisi obyektif yang mendorongnya, maka rintisan untuk mendirikan HMI muncul di bulan November 1946. Permasalahan yang dapat diangkat dari latar belakang berdirinya HMI, merupakan suatu kenyataan yang harus diantisipasi dan dijawab secara cepat dan konkrit dan menunjukkan apa sebenarnya Islam itu. Maka pembaharuan pemikiran di kalangan umat Islam bangsa Indonesia suatu keniscayaan.
Selama lebih kurang 9 bulan, reaksi-reaksi terhadap HMI barulah berakhir. Masa 9 bulan itu dipergunakan untuk menjawab berbagai reaksi dan tantangan silih berganti, yang semuanya itu untuk mengokohkan eksistensi HMI, sehingga dapat berdiri tegar dan kokoh. Maka diadakanlah berbagai aktivitas untuk popularisasi organisasi dengan mengadakan ceramah-ceramah ilmiah, rekreasi malam-malam kesenian.
Di bidang organisasi, HMI mulai mendirikan cabang- cabang baru seperti Klaten, Solo dan Yogyakarta. Pengurus HMI bentukan 5 Februari 1947 otomatis menjadi Pengurus Besar (PB) HMI pertama dan merangkap menjadi Pengurus HMI Cabang Yogyakarta I. Hari Rabu Pon 1878, tanggal 14 RA 1366 / 5 Februari 1947, menetapkan berdirinya organisasi Himpunan Mahasiswa Islam, disingkat HMI
Mengesahkan Anggara Dasar HMI. Adapun Anggaran Rumah Tangga dibuat kemudian
Membentuk Pengurus HMI : Ketua : Lafran Pane (Prof. Drs. Alm.) Wakil Ketua : Asmin Nasution (Drs.) Penulis I : Anton Timur Jailani (Prof. H.– MA) Penulis II : Karnoto Zarkasyi
(Kapten AD– BA) Bendahara I : Dahlan Husein Bendahara II: Maisaroh Hilal Anggota : Suwali, Yusdi Ghozali (SH), Mansyur.
Ada kesan bahwa keanggotaan HMI hanya untuk mahasiswa STI. Untuk menghilangkan anggapan yang keliru itu, tanggal 22 agustus 1947, PB HMI diresuffle. Ketua Lafran Pane digantikan oleh H.M. Mintaredja dari Fakultas Hukum BPT GM, sedang Lafran Pane menjadi wakil ketua merangkap Ketua HMI Cabang Yogyakarta. Sejak itu mahasiswa BPT GM, STT mulai masuk dan berbondong-bondong menjadi anggota HMI. Di Yogyakarta tanggal 30 November 1947 diadakan Kongres I HMI.
Seiring dengan tujuan HMI yang digariskan sejak awal berdirinya, maka konsekuensinya dalam masa perang kemerdekaan, HMI terjun ke gelanggang medan pertempuran melawan Belanda. Tepat saat Agresi Militer Belanda I 21 April 1947 sekretariat HMI di JL.Setyodingrat terkena hantaman senjata Belanda oleh karena itu anggota HMI membantu pemerintah baik langsung memegang senjata bedil dan bambu runcing sebagai staf penerangan, penghubung, dll.
Untuk menghadapi pemberontakan Madiun 18 September 1948, Ketua PMI/Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM), dengan Komandan Hartono, Wakil Komandan Ahmad Tirtosudiro, ikut membantu pemerintah menumpas pemberontakan PKI di Madiun, dengan mengerahkan anggota CM ke gunung- gunung, memperkuat aparat pemerintah. Sejak itulah dendam PKI terhadap HMI tertanam dan terus berlanjut sampai puncaknya pada tahun 1964-1965 yaitu gerakan penggayangan terhadap HMI menjelang meletusnya Gestapu/PKI 1965.
Pada fase ini berlangsung peringatan Dies Natalies pertama HMI di Bangsal Kepatihan tanggal 6 Februari 1948, Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia Jenderal Sudirman memberi sambutan pada peringatan tersebut atas nama Pemerintah RI. Jenderal sudirman selain mengartikan HMI sebagai Himpunan Mahasiswa Islam, HMI juga diartikan sebagai Harapan Masyakat Indonesia. Karena mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam, HMI juga diartikan sebagai Harapan Masyarakat Islam Indonesia.
Pada fase ini juga berlangsung Kongres Muslim Indonesia II di Yogyakarta tanggal 20 sampai dengan 25 Desember 1949. Kongres itu dihadiri oleh 185 organisasi, alim ulama dan intelegensia seluruh Indonesia. Di antara tujuh dari keputusannya di bidang organisasi salah satu keputusannya adalah memutuskan bahwa: Hanya satu organisasi mahasiswa Islam, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang bercabang di tiap-tiap kota yang ada sekolah tinggi.
Selama anggota HMI banyak yang terjun ke gelanggang medan pertempuran membantu pemerintah mengusir penjajah, selama itu pula pembinaan organisasi HMI terabaikan. Namun hal itu dilaksanakan dengan sadar, karena ini semua untuk merealisir tujuan HMI sendiri, serta dwitugasnya, yakni tugas agamanya dan tugas bangsanya. Maka dengan adanya pengakuan kedaulatan rakyat tanggal 27 Desember 1949, mahasiswa yang berminat melanjutkan kuliahnya bermunculan di Yogyakarta.
Sejak tahun 1950, dilaksanakanlah usaha-usaha konsolidasi organisasi sebagai masalah besar sepanjang masa. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta. Diantara usaha-usaha yang dilaksanakan selama 13 tahun itu antara lain:
1. Pembentukan cabang-cabang baru,
2. Menerbitkan majalah sejak 1 Agustus 1954, sebelumnya terbit Criterium, Cerdas dan tahun 1959 menerbitkan majalah Media,
3. 7 kali kongres,
4. Pengesahan atribut HMI seperti lambing, bendera, muts, hymne HMI,
5. Merumuskan tafsir azas HMI,
6. Pengesahan kepribadian HMI,
7. Pembentukan Badan Koordinasi (Badko),
8. Menentukan metode Training HMI,
9. Pembentukan lembaga-lembaga HMI di Bidang ekstern,
10. Pendayagunaan PPMI,
11. Menghadapi Pemilu 1955,
12. Penegasan Independensi HMI,
13. Mendesak pemerintah supaya mengeluarkan Undang-undang Perguruan Tinggi, tuntutan agar pendidikan agama sejak dari SR sampai Perguruan Tinggi,
14. Mengeluarkan konsep peran agama dalam pembangunan, dan lain-lain.
Selain masalah internal, muncul pula persoalan ekstern yang sangat menonjol. Justru karena keberhasilan HMI melaksanakan konsolidasi organisasi ada golongan yang iri dan tidak senang kepada HMI yaitu PKI.
Tidak dibubarkan dan dilarangnya PKI akibatnya pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, PKI otomatis mempunyai kesempatan untuk bangkit kembali. Tanggal 21 Februari tahun 1957, Presiden Soekarno mengumumkan konsepsinya supaya kabinet berkaki empat dengan unsur PNI, Masyumi, NU dan PKI (sebagaiempat besar pemenangpemilu 1955). Berikutnya di Moskow tanggal 19 November 1957 dicetuskanlah Manifesto Moscow, yaitu satu program untuk mengkomuniskan Indonesia. Akibat itu semua, PKI tampil sebagai partai pemerintah. Masyumi, akibat penentangan terhadap kebijakan politik Presiden Soekarno, dengan Manipol Usdeknya, dengan Keputusan Presiden nomor 200: tanggal 17 Agustus tahun 1960 Masyumi dipaksa bubar. Untuk menghadapi perkembangan politik, Kongres V HMI di Medan tanggal 24-31 Desember 1957 mengeluarkan dua sikap anatar lain:
1. Haram hukumnya menganut ajaran dan paham komunis karena bertentangan dengan Islam,
2. Menuntut Islam sebagai dasar Negara.
Dendam PKI terhadap HMI yang tertanam karena keikutsertaan HMI dalam menumpas pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, menempatkan HMI sebagai organisasi yang harus bubar, karena dianggap sebagai penghalang bagi tercapainya tujuan PKI. Untuk itu dilaksanakanlah berbagai usaha untuk membubarkan HMI.
Sesuai hasil Kongres II Consetrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) organisasi mahasiswa underbow PKI di Salatiga, Juni 1961, untuk melekuidasi HMI. PKI, CGMI dan organisasi lainnya yang se-ideologi mulai melakukan gerakan secara terbuka untuk membubarkan HMI. Gerakan pembubaran HMI disokong seluruh simpatisan dari tiga partai besar yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Indonesia (PARTINDO) dan Partai nasional Indonesia (PNI) dan seluruh underbow ketiga partai tersebut yang semuanya berjumlah 42 partai. Untuk membubarkan HMI sekitar Maret 1965, dibentuklah Panitia Aksi Pembubaran HMI di Jakarta yang terdiri dari CGMI, GMNI, IPPI, GRMINDO, GMD, MMI, Pemuda Marhaenis, Pemuda Rakyat, Pemuda Indonesia, PPI, dan APPI.
Menjawab tantangan ini, Generasi Muda Islam(GEMUIS) yang terbentuk tahun 1964 membentuk Panitia Solidaritas Pembelaan HMI, yang terdiri dari unsur- unsur pemuda, pelajar, mahasiswa Islam seluruh Indonesia. Bagi umat Islam HMI merupakan taruhan terakhir yang harus dipertahankan setelah sebelumya Masyumi dibubarkan. Kalau HMI sempat bubar, maka satu-persatu dari organisasi Islam akan terkena sapu pembubaran.
Namun gerakan pembubaran HMI ini gagal justru dipuncak usaha usaha pembubaran tersebut. Dalam acara penutupan Kongres CGMI tanggal 29 September 1965 di Istora Senayan. Meski PKI terus melakukan provokasi kepada Presiden Soekarno, seperti diungkapkan DN. Aidit, ‖kalau anggota CGMI tidak bisa membubarkan HMI, anggota CGMI yang laki-laki lebih baik pakai kain sarung saja..... kalau semua front sudah minta, Presiden akan membubarkan HMI.‖ Namun ternyata HMI tidak dibubarkan, bahkan dengan tegas Presiden Soekarno mengungkapkan dalam pidatonya:
“Pemerintah mempunyai kebijakan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada kehidupan organisasi mahasiswa yang revolusioner. Tapi kalau organisasi mahasiswa yang menyeleweng itu mejadi kontra revolusi umpamanya HMI, aku sendiri yang akan membubarkannya. Demikian pula kalau CGMI menyeleweng menjadi kontra revolusi juga akan kububarkan.”
Antara lain karena gagal membubarkan HMI, maka PKI sudah siap main kayu, main kekerasan. PKI takut didahului umat Islam untuk merebut kekuasaan dari pemerintahan yang sah, maka meletuslah Pemberontakan G30S/PKI 1965.
1. Tanggal1 Oktoberadalahtugu pemisah antara Orde Lama dan Orde Baru
2. Apa yang disinyalir PKI, seandainya PKI gagal membubarkan HMI, HMI akan tampil kedua kalinya menumpas pemberontakan PKI, benar-benar terjadi.
3. Wakil Ketua PB HMI Mar‘ie Muhammad tanggal 25 Oktober 1965 mengambil inisiatif mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), sebagaimana yang dilakukan oleh Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM) untuk menghadapi pemberontakan PKI di Madiun.
4. Tritura 10 Januari 1966:―bubarkan PKI, reatol kabinet, dan turunkan harga
5. Surat Perintah Sebelas Maret 1966
6. Dibubarkan dan dilarangnya PKI tanggal 12 Maret 1966 g. Kabinet Ampera terbentuk, HMI diajak hearing pembentukan kabinet, dan alumni HMI masuk dalam kabinet.
Setelah Orde Baru mantap dan Pancasila serta UUD 1945 sudah dilaksanakan secara murni dan konsekuen, maka sejak tanggal 1 April 1969 dimulailah rencana pembangunan lima tahun dan sudah menyelesaikan pembangunan 25 tahun pertama, kemudian menyusul pembangunan 25 tahun kedua. Pembangunan Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur bukanlah pekerjaan mudah, tetapi sebaliknya merupakan pembangunan raksasa sebagai usaha kemanusiaan yang tidak habis habisnya. Partisipasi segenap warga negara sangat dibutuhkan. HMI pun sesuai dengan lima aspek pemikirannya, telah memberikan sumbangan dan partisipasinya dalam pembangunan: (a) partisipasi dalam pembentukan suasana, situasi dan iklim yang memungkinkan dilaksanakannya pembangunan, (b) partisipasi dalam pemberian konsep-konsep dalam berbagai aspek pemikiran; (partisipasi dalam bentuk langsung dari pembangunan).
Selama kurun waktu Orde Lama (1959-1965) kebebasan mengeluarkan pendapat baik yang bersifat akademis terlebih-lebih politik terkekang dengan ketat. Suasana itu berubah tatkala Orde Baru muncul, walaupun kebebasan hakiki belum diperoleh sebagaimana mestinya. Sama halnya di penghujung pemerintahan Soeharto dianggap sebagai suatu perbedaan yang tidak pada tempatnya. Namun walaupun demikian, kebebasan datang, kondisi terbatas dapat dimanfaatkan, baik yang berkaitan dengan agama, akademik dan politik. Kejumudan dan suasana tertekan pada masa Orde Lama mulai cair terutama dalam pembaharuan pemikiran Islam yang dipandang sebagai suatu keharusan, sebagai jawaban terhadap berbagai masalah untuk memenuhi kebutuhan kontemporer. Hal seperti itu muncul di kalangan HMI dan mencapai puncaknya tahun 1970. Tatkala Nurcholis Madjid menyampaikan ide pembaharuannya dengan topik Keharusan Pembaharuan Pemikiran dalam Islam dan Masalah Integrasi Umat. Sikap itu diambil, karena apabila kondisi ini dibiarkan mengakibatkan persoalan-persoalan umat yang terbelenggu selama ini, tidak akan memperoleh jawaban yang efektif.
Sebagai konsekuensinya muncul pergolakan pemikiran dalam tubuh HMI yang dalam berbagai substansi permasalahan timbul perbedaan pendapat, penafsiran dan interpretasi. Hal itu tercuat dalam bentuk seperti persoalan negara Islam, Islam Kaffah, sampai kepada penyesuaian dasar HMI dari Islam menjadi Pancasila. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor: 8/1985 yang mengharuskan bahwa semua partai dan organisasi harus berdasarkan Pancasila. Kongres ke-16 HMI di Padang tahun 1986, HMI menyesuaikan diri dengan mengubah asas Islam dengan Pancasila. Akibat penyesuaian ini beberapa orang anggota HMI membentuk MPO, akibatnya HMI pecah menjadi dua yaitu HMI DIPO dan HMI MPO.
Apabila dicermati dengan seksama secara historis HMI sudah mulai melaksanakan gerakan reformasi dengan menyampaikan beberapa pandangan yang berbeda serta kritik maupun evaluasi secara langsung terhadap pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahun 1995. Sesuai dengan kebijakan PB HMI, bahwa HMI tidak akan melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional dan konfrontasi terhadap Pemerintah. HMI melakukan dan menyampaikan kritik secara langsung yang bersifat konstruktif.
Koreksi dan kritik yang dimaksud, pertama, disampaikan M. Yahya Zaini Ketua Umum PB HMI Periode 1992-1995 ketika memberikan sambutan pada pembukaan Kongres ke-20 HMI di Istana Negara Jakarta tanggal 21 Januari 1995. Koreksi itu antara lain, bahwa menurut penilaian HMI, pembangunan ekonomi kurang diikuti dengan pembangunan politik. Masih dirasakan tingkat perubahan di tingkat politik tidak sebanding dengan apa yang terjadi di bidang ekonomi. Dalam pembangunan politik institusi-institusi politik atau badan-badan demokrasi belum maksimal memainkan fungsi dan peranannya. Akibatnya aspirasi masyarakat masih sering tersumbat. Kondisi inilah yang menutut kita, pemerintah dan masyarakat untuk terus menggelindingkan proses demokratisasi dengan bingkai Pancasila tetapi ini harus diikuti dengan pemberdayaan masyarakat. Dalam suasana demikian, proses saling kontrol akan terbangun. Selain itu HMI melihat masih banyak distorsi dalam proses pembangunan. Gejala penyalahgunaan kekuasaan, kesewenang-wenangan, praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme adalah cerminan tidak berfungsinya sistem nilai yang menjadi kontrol dan landasan etika dan bekerjannya suatu sistem.
Suara reformasi berikutnya dengan fokus yang lebih tajam, lugas dihadapan Presiden Soeharto tatkala menghadiri dan memberikan sambutan pada peringatan Ulang Tahun Emas 50 tahun HMI di Jakarta tanggal 20 Maret 1997 (satu tahun sebelum reformasi), dimana Taufik Hidayat Ketua Umum PB HMI 1995-1997 menegaskan; sekaligus sebagai jawaban atas kritik-kritik yang memandang HMI terlalu dekat dengan kekuasaan. Bagi HMI, kekuasaan atau politik bukanlah wilayah yang haram, politik justru mulia, apabila dijalankan di atas etika dan bertujuan untuk menegakkan nilai nilai kebenaran dan keadilan. Lantaran itu, HMI akan mendukung kekuasaan pemerintah yang sungguh-sungguh dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Sebaliknya, HMI akan tampil ke depan menentang kekuasaan yang korup dan menyeleweng. Ini telah dibuktikan ketika HMI terlibat aktif dalam merintis dan menegakkan Orde Baru. Demikian juga pada saat sekarang ini dan masa-masa mendatang. Kritik- kritik ini tidak boleh mengurangi rasa percaya diri HMI untuk tetap melaksanakan amar ma‟ruf dan nahi munkar.
Pemikiran dan reformasi selanjutnya disampaikan Ketua Umum PB HMI 1997-1999 Anas Urbaningrum pada waktu peringatan Dies Natalis HMI ke-51 di Graha Insan Cita Depok tanggal 22 Februari 1998, dengan judul Urgensi Reformasi Bagi Pembangunan Bangsa yang Bermartabat. Pidato itu disampaikan 3 bulan sebelum lengsernya Presiden Soeharto 21 Mei 1998. Suara dan tuntutan reformasi telah dikumandangkan pula dalam berbagai aspek, yang disampaikan Anas Urbaningrum pada Peringatan Dies Natalis ke 52 di Auditorium Sapta Pesona Departemen Pariwisata Seni dan Budaya Jakarta 5 Februari 1999, dengan judul Dari HMI untuk Kebersamaan Bangsa Menuju Indonesia Baru. Tuntutan reformasi juga disampaikan Ketua Umum PBHMI M. Fahruddinpada Peringatan Dies Natalis ke-53 HMI di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 5 Februari 2000 dengan judul Merajut Kekuasaan Oposisi Membangun Demokrasi Membangun Peradaban Baru Indonesia.
Fase tantangan ke-2 ini muncul justru setelah Orde Reformasi berjalan dua tahun. Semestinya berdasarkan landasan-landasan atau sikap sikap yang telah diambil PB HMI memasuki era reformasi semestinya HMI mengalami perkembangan yang signifikan menjawab berbagai tantangan sesuai dengan perannya sebagai organisasi perjuangan, yang harus tampil sebagai pengambil inisiatif dalam memajukan kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akan tetapi justru sebaliknya HMI secara umum mengalami kemunduran, yang secara intensif disinyalir Agussalim Sitompul dalam bukunya 44 Indikator Kemunduran HMI.
Jika pada fase tantangan I (1964-1965) HMI dihadapkan kepada tantangan eksternal yaitu menghadapi PKI, pada fase tantangan II ini HMI dihadapkan sekaligus pada dua tantangan besar secara internal dan eksternal sekaligus.
Pertama, tantangan internal, kajian tentang HMI saat ini menunjukkan, bahwa dalam kehidupan sekarang dan mendatang, HMI ditantang:
1. Masalah eksistensi dan keberadaan HMI, seperti menurunnya jumlah mahasiswa baru masuk HMI, tidak terdapatnya HMI di berbagai perguruan tinggi, institut, fakultas, akademi, program studi, sebagai basis HMI.
2. Masalah relevansi pemikiran-pemikiran HMI, untuk melakukan perbaikan dan perubahan yang mendasar terhadap berbagai masalah yang muncul yang dihadapi bangsa Indonesia.
3. Masalah peran HMI sebagai organisasi perjuangan yang sanggup tampil dalam barisan terdepan sebagai avant grade, kader pelopor bangsa dalam mengambil inisiatif untuk melakukan berbagai perubahan yang sangat dibutuhkan masyarakat.
4. Masalah efektifitas HMI untuk memecahkan masalah yang dihadapi bangsa, karena banyak organisasi yang sejenis maupun yang lain yang dapat tampil lebih efektif dan dapat mengambil inisiatif terdepan untuk memberi solusi terhadap problem yang dihadapi bangsa Indonesia.
Sebagai jawabannya, menuntut perpecahan yang bersifat teoritis dan praktis, akan tetapi semuanya bersifat konseptual, integratif, inklusif. Sebab pendekatan yang tidak konseptual, parsial dan ekslusif tidak akan melahirkan jawaban yang efektif. Untuk itu dibutuhkan ide dan pemikiran dari anggota aktifitas kader, dan pengurus HMI di seluruh jenjang organisasi.
Kedua, tantangan eksternal, berbagai tantangan eksternal juga dihadapkan kepada HMI yang tidak skala besar dan rumitnya dari tantangan internal, antara lain:
1. Tantangan menghadapi perubahan zaman yang jauh berbeda dari abad ke-20 dan yang muncul pada abad ke-21 ini.
2. Tantangan terhadap peraphan generasi yang hidup dalam zaman dan situasi yang berada dalam berbagai aspek kehidupan khususnya yang dijalani generasi muda bangsa.
3. Tantangan untuk mempersiapkan kader-kader dan alumni HMI, yang akan menggantikan alumni-alumni HMI yang saat ini menduduki berbagai posisi strategis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karena regenerasi atau pergantian pejabat-pejabat, suka tidak suka, mau tidak mau pasti terus berlangsung.
4. Tantangan menghadapi bahaya abadi komunis.
5. Tantangan menghadapi golongan lain, yang mempunyai misi lain dari umat Islam dan bangsa Indonesia.
6. Tantangan tentang adanya kerawanan aqidah.
7. Tantangan menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang terus berkembang tanpa henti.
8. Tantangan menghadapi perubahan dan pembaharuan di segala aspek kehidupan manusia yang terus berlangsung sesuai dengan semangat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat kompetitif.
9. Tantangan menghadapi masa depan yang belum dapat diketahuibentuk dan coraknya.
10. Kondisi umat Islam di Indonesia yang dalam kondisi belum bersatu.
11. Kondisi dan keadaan Perguruan Tinggi serta dunia kemahasiswaan, kepemudaan, yang penuh dengan berbagai persoalan dan problematika yang sangat kompleks.
Pada fase tantangan II ini, nampaknya HMI semakin memudar dan mundur yang telah berlangsung 25 tahun sejak tahun 1980-2005.HMI tidak mampu bangkit secara signifikan, bahkan dalam dua periode terakhir PB HMI mengalami perpecahan.Karena itu, menghadapi tantangan tersebut, HMI dengan segenap aparatnya harus mampu menghadapinya dengan penuh semangat dan militansi yang tinggi. Apakah HMI mampu menghadapi tantangan itu, sangat ditentukan oleh pemegang kendali organisasi sejak dari PB HMI, Pengurus Badko, Cabang, Korkom, Komisariat, Lembaga Lembaga Kekaryaan, serta segenap anggota HMI, maupun alumninya yang tergabung dalam KAHMI sebagai penerus, pelanjut serta penyempurna mission sacre HMI. Peralihan zaman, peralihan generasi, saat ini menentukan bagi eksistensi HMI di masa mendatang.
Gelombang kritik terhadap HMI tentang kemundurannya, telah menghasilkan dua umpan balik.Pertama, telah muncul kesadaran individual dan kolektif di kalangan anggota, aktivis, kader, bahkan alumni HMI serta pengurus sejak dari Komisariat sampai PB HMI, bahwa HMI sedang mengalami kemunduran.Kedua, selanjutnya dari kesadaran itu muncul pula kesadaran baru, baik secara individual dan kolektif di kalangan anggota, aktivis, kader, alumni, dan pengurus bahwa dalam tubuh HMI mutlak dilakukan perubahan dan pembaharuan, supaya dapat bangkit kembali seperti masa jaya-jayanya dulu.
Sampai sejauh mana kebenaran dan bukti adanya indikator-indikator kebangkitan kembali HMI, sejarahlah yang akan menentukan kelak. Kita semua berharap dengan penuh optimistis sesuai dengan ajaran Islam supaya manusia bersikap optimis, agar HMI dapat mengakhiri masa kemundurannya dan memasuki masa kebangkitannya secara meyakinkan.
Di tangan generasi sekaranglah sebagai generasi penerus, pelanjut, dan penyempurna perjuangan HMI. Yakin Usaha Sampai!
“Sesungguhnya, tahun-tahun permulaan riwayat HMI adalah hampir identik dengan kehidupan Lafran Pane sendiri. Karena dialah yang punya andil terbanyak pada mulabuka lahirnya HMI kalau tidak boleh kita katakan sebagai tokoh pendiri utamanya.” (Media, No.7 Th. III. Rajab 1376 H/ Februari 1957,h. 32).
Dengan ungkapan ini jelaslah hubungan Lafran Pane dengan HMI tidak bisa dipisahkan. Latar belakang pemikiran Lafran Pane untuk mendirikan HMI, adalah juga identik dengan latar belakang munculnya pemikiran HMI. Dengan demikian memahami pemikiran Lafran Pane, akan senantiasa terdapat proses komunikasi dan ekspresi dengan lingkungannya, yaitu negara Indonesia yang berpenduduk mayoritas beragama Islam, dengan segala realitas dan totalitasnya. Pemikiran Lafran tidak bisa dipahami tanpa meletakkannya dalam suatu proses sejarah atau tradisi panjang yang melingkupinya.
Sesuai dengan konteksnya, latar belakang munculnya pemikiran HMI adalah:
1. Penjajahan Belanda atas Indonesia dan tuntutan perang kemerdekaan
2. Kesenjangan dan kejumudan umat Islam dalam pengetahuan, pemahaman dan penghayatan serta pengamalan ajaran Islam
3. Kebutuhan akan pemahaman, penghayatan keagamaan
4. Munculnya polarisasi politik
5. Perkembangan paham dan ajaran komunis dikalangan Masyarakat dan Mahasiswa
6. Kedudukan Perguruan Tinggi dan dunia kemahasiswaan yang strategis
7. Kemajemukan bangsa Indonesia
8. Tuntutan modernisasi dan tantangan masa depan.
Menangkap realitas historis dan berbagai persoalan dan perkembangan yang mengikutinya, tampilah Lafran Pane seorang mahasiswa yang sejak menjadi mahasiswa aktif mengamati dan memikirkan secara seksama perkembangan sosial, politik, dan budaya di tanah air, mengangkat kedelapan faktor di atas mejadi semangat spiritual. Idealisme ini diangkat menjadi suatu yang empiris dan pemikiran yang memiliki daya dukung konstruktif, guna merespon berbagai persoalan yang dihadapi bangsa saat itu.
Setelah berulang kali mencoba mengadakan pembicaraan yang selalu gagal karena mendapat penentangan dari beberapa organisasi mahasiswa. Akhirnya, para hari Rabu Pon 1878, tanggal 14 Rabiul Awwal 1366 H bertepatan 5 Februari 1947 secara resmi dideklarasikan berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) oleh Lafran Pane bersama 14 orang laninnya yaitu: Kartono Zarkasy (Ambarawa), Dahlan Husein (Palembang), Siti Zainah (istri Dahlan Husein, Palembang), Maisaroh Hilal (cucu pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan, Singapura), Soewali (Jember), Yusdi Gozali (Semarang, juga pendiri PII), M. Anwar (Malang), Hasan Basri (Surakarta), Marwan (Bengkulu), Tayeb Razak (Jakarta), Toha Mashudi (Malang), Bidron Hadi (Kauman-Yogyakarta), Zulkarnaen (Bengkulu), dan Mansyur.
Dan dengan dua semangat atau dua tujuan pertama didirikannya HMI adalah semangat Keindonesiaan dan Keislaman yaitu, mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, kedua menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Dua tujuan ini selalu menyemai dalam semangat kader HMI baik dalam gagasan maupun tindakan.
Berdasarkan penelusuran dan penelitian sejarah, maka Kongres XI HMI tahun 1974 di Bogor menetapkan Lafran Pane sebagai pemrakarsa berdirinya HMI, dan disebut sebagai pendiri HMI.
Lafran Pane adalah anak keenam dari Sutan Pangurabaan Pane, lahir di Padang Sidempuan, 5 Februari 1922, pendidikan Lafran Pane tidak berjalan―normal‖ dan―lurus‖.Lafran Pane terinspirasi dari gerakan kelompok pelajar Islam di era Hindia Belanda yaitu Jong Islamieten Bond (JIB) dan Student Islamic Studenten (SIS). Lafran mengalami perubahan kejiwaan yang radikal sehingga mendorong dirinya untuk mencari hakikat hidup sebenarnya. Desember 1945 Lafran Pane pindah ke Yogyakarta, karena Sekolah Tinggi Islam (STI) tempat ia menimba ilmu pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Pendidikan agama Islam yang lebih intensif ia peroleh dari dosen-dosen STI, mengubur masa lampau yang kelam.
Bagi Lafran Pane, Islam merupakan satu-satunya pedoman hidup yang sempurna, karena Islam menjadikan manusia sejahtera dan selamat di dunia dan akhirat. Pada tahun 1948, Lafran Pane pindah studi ke Akademi Ilmu Politik (AIP). Saat Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada dan Fakultas Kedokteran di Klaten, serta AIP Yogyakarta dinegerikan pada tanggal 19 Desember 1949 menjadi Universitas Gadjah Mada (UGM), secara otomatis Lafran Pane termasuk mahasiswa pertama UGM. Setelah bergabung menjadi UGM, AIP berubah menjadi Fakultas Hukum Ekonomi Sosial Politik, dan Lafran Pane menjadi sarjana pertama dalam ilmu politik dari fakultas tersebut pada tanggal 26 Januari 1953.